Ketua DPC PTI Berau Tanggapi Illegal Fishing Derawan, Dampak Bisa Multidimensi

Oleh
mediatani.id
Diposting
Kamis, 31 Jul 25
Bagikan

Mediatani.id, Kaltim- Dua pelaku illegal fishing berhasil diamankan saat melakukan penangkapan ikan secara ilegal menggunakan alat peledak di kawasan konservasi perairan Kepulauan Derawan, Berau. 

Diketahui, Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Sekitarnya (KKP3K-KDPS), berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan no.87/Kepmen-KP/2016 tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya di Kabupaten Berau Provinsi Kaltim, telah ditetapkan sebagai wilayah konservasi. 

Ketua DPC Pemuda Tani Indonesia (PTI) Berau  Dwi Rizky Ananda menyampaikan pandangannya terkait kasus illegal fishing “Kawasan Konservasi Perairan merupakan wilayah perairan tertentu yang ditetapkan dan dikelola untuk melindungi keanekaragaman hayati laut, menjamin kelestarian sumber daya ikan, serta mendukung kehidupan masyarakat pesisir secara berkelanjutan”.

Lanjut Dwi Rizky Ananda, kegiatan illegal fishing tentu merupakan kegiatan yang dilarang dan melanggar undang-undang no. 31 pasal 84 tahun 2009 tentang larangan penggunaan bahan peledak (bom) atau racun dalam penangkapan ikan.

Pelakupun dapat dituntut dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1,2Miliar.

Dua pelaku yang berhasil diamankan pada 29 Juni 2025, pukul 16.38 WITA. Selain itu, juga ditemukan barang bukti seperti botol kaca berisi bahan peledak, detonator, hingga dua boks ikan hasil tangkapan ilegal. 

Terlebih lagi tindakan illegal fishing ini dapat memberikan dampak yang multidimensi, dalam hal ini merusak ekosistem laut, ekonomi dan sosial, ucap Dwi Rizky Ananda.

Penggunaan bom ikan yang dapat merusak terumbu karang dan tempat ikan bertelur, bila kegiatan penangkapan dilakukan secara berlebih tentu juga dapat menimbulkan kepunahan bagi spesies tertentu. Lebih parah terumbu karang yang rusak dapat membuat pesisir lebih rawan yang menimbulkan abrasi dan potensi tsunami, tutup Dwi Rizky Ananda.

Berita Terkait