Bo Jalung dan Bahaya COVID-19: Sebuah Kisah Kearifan Lokal dari Kampung Long Ayan

Oleh
mediatani.id
Diposting
Senin, 3 Mar 25
Bagikan
Ritual adat yang dilaksanakan warga kampung Long Ayan

Penulis: Hardiansyah, A.Md.Kep, SP (Kepala Kampung Long Ayan)

BERAU,- Di Kampung Long Ayan, kehidupan berjalan damai seperti biasa. Para petani bekerja di ladang, anak-anak bermain di halaman rumah panjang, dan di malam hari, suara tawa menghangatkan perkampungan. Namun, suatu malam, Bo Jalung, pusaka sakti yang menjaga kampung, mulai bergetar hebat di rumah adat. Suaranya menggema seperti angin badai, seolah ingin memberi peringatan.

Hat Budwung, kepala adat yang sudah terbiasa membaca tanda-tanda pusaka, segera memanggil para tetua kampung. “Bo Jalung tidak pernah bergetar tanpa alasan,” katanya dengan wajah serius.

“Bahaya besar sedang mendekat.”

Penyakit yang Tidak Terlihat

Keesokan harinya, seorang pemburu yang baru kembali dari perjalanan jauh tiba di kampung dalam keadaan lemas dan batuk-batuk. Tubuhnya terasa panas dan menggigil. Penduduk segera membawanya ke rumah, namun beberapa hari kemudian, beberapa warga lain mulai merasakan gejala yang sama.

Seorang pemuda yang baru saja kembali dari kota mendengar kabar tentang penyakit baru yang sedang menyebar, yang disebut COVID-19. Penyakit ini tidak terlihat, tetapi dapat menular dengan cepat dari orang ke orang. Hat Budwung pun memahami bahwa inilah bahaya yang telah diperingatkan oleh Bo Jalung.

Menghadapi Ancaman dengan Kearifan Lokal

Segera, Hat Budwung mengadakan musyawarah dengan para tetua. Ia memutuskan bahwa semua penduduk harus menjaga jarak dan tidak boleh berkumpul di rumah panjang seperti biasa. Mereka juga diwajibkan memakai kain atau penutup wajah setiap kali keluar rumah. Setiap orang yang baru datang dari luar kampung harus menjalani karantina di tempat terpisah selama beberapa hari.

Meskipun aturan ini terasa sulit, penduduk Long Ayan memercayai kebijaksanaan pemimpin mereka dan mengikuti aturan tersebut dengan disiplin. Setiap pagi, Hat Budwung dan para tetua berdoa kepada Tuhan, memohon perlindungan. Selain itu, mereka juga mengandalkan ramuan dari tumbuhan hutan untuk menjaga daya tahan tubuh.

Bo Jalung Kembali Tenang

Bulan demi bulan berlalu. Berkat kepatuhan serta kebijaksanaan adat, Long Ayan berhasil menghindari dampak terburuk dari penyakit ini. Masyarakat belajar untuk hidup dengan kebiasaan baru—lebih menjaga kebersihan, lebih berhati-hati dengan orang luar, namun tetap saling menjaga satu sama lain.

Setahun kemudian, pada suatu malam, Hat Budwung duduk di depan Bo Jalung. Ia menyentuh pusaka tersebut dan merasakan ketenangan. Pusaka yang dahulu bergetar kini diam, tanda bahwa bahaya telah berlalu.

Pelajaran dari Masa Sulit

Masyarakat Long Ayan pun kembali menjalani kehidupan normal, tetapi mereka tidak melupakan pelajaran yang didapat dari masa sulit itu. Mereka tahu bahwa Bo Jalung tidak hanya melindungi mereka dengan kekuatan gaib, tetapi juga dengan kebijaksanaan yang diwariskan oleh leluhur—tentang pentingnya persatuan, kedisiplinan, dan kepedulian terhadap sesama.

Sejak saat itu, Emkan Bo Jalung tidak hanya menjadi upacara untuk menghormati pusaka, tetapi juga sebagai pengingat bahwa bahaya bisa datang kapan saja, bahkan dalam bentuk yang tak terlihat. Yang terpenting, kebijaksanaan dan kerja sama adalah kunci untuk menghadapinya.(*)

Berita Terkait